Bagi cowok, prestasi adalah segalanya. Boleh dibilang pencapaian prestasi adalah tujuan hidup mereka. Kaum cowok akan merasa dirinya bernilai dan berharga jika memiliki prestasi yang bisa membuat bangga. Jika kurang berprestasi, maka cowok akan merasa dirinya kurang bernilai. Mereka bisa menjadi minder dan merasa hidup mereka kurang berarti.
Prestasi seperti apa yang meningkatkan harga diri cowok? Ada banyak ragam bentuknya. Secara umum prestasi itu berupa prestasi yang membuat mereka diakui lebih mampu, lebih kaya, dan lebih hebat dibanding sebelumnya dan lebih dibandingkan orang lain yang sebelumnya setara dengan mereka. Misalnya sama-sama alumni SMA favorit di kota, maka prestasi buat mereka adalah gengsi tempat kuliahnya.
Diam-diam, kaum cowok bersaing dengan teman-temannya. Mereka ingin lebih baik dibandingkan teman-teman seperjuangannya dulu. Mereka ingin menjadi yang tersukses. Hanya dengan semakin sukses mereka akan menjadi semakin percaya diri.
Ukuran sukses bagi cowok biasanya berupa benda-benda atau objek yang bisa dipertontonkan. Bisa berupa benda yang kasatmata seperti mobil, motor, rumah, telepon seluler, rancangan rumah, hasil karya desain, karya tulis, deposito, sampai pekerjaan, kekuatan, popularitas, jabatan, dan kekuasaan. Tidak mengherankan jika tujuan hidup kaum cowok adalah mengejar itu semua. Pun hobi mereka biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bisa menunjukkan prestasi, misalnya hobi olahraga karena di dalamnya dia bisa menunjukkan prestasi dengan cara mengalahkan lawannya. Hobi otomotif bisa menunjukkan kekayaannya. Hobi golf menunjukkan kelasnya sebagai kelas atas. Hobi panjat tebing bisa menunjukkan kekuatan fisiknya. Pendek kata, nyaris semua hobi kaum laki-laki terkait dengan aspirasinya untuk meraih prestasi.
Menurut para cowok, pasangan yang menawan juga merupakan prestasi sebab bisa dipertontonkan pada orang lain. Cewek cantik dan populer adalah salah satu incaran kaum cowok yang paling penting. Bisa mendapatkan mereka adalah prestasi penting yang meningkatkan harga diri mereka. Teman-temannya akan memujinya, “wah hebat ya bisa mendapatkan cewek cakep kayak bintang film India”
Kaum cowok bangga bukan kepalang bisa menggandeng cewek tercantik dan terpopuler. Ke mana-mana mereka akan menggandengnya. Nah, jika seorang cowok enggan mengajak ceweknya ketika ada acara bersama teman-temannya, bisa saja itu indikasi bahwa dia merasa tidak bangga memiliki ceweknya itu.
Lebih penting dari cantik dan populer adalah cerdas atau setidaknya menyimbolkan kecerdasan (misalnya kuliah di perguruan tinggi terbaik). Meskipun banyak cowok yang jadi bermental karet karena khawatir disaingi cewek cerdas, tapi cewek cerdas adalah pasangan yang paling membanggakan bagi para cowok. Bagi mereka, mendapatkan cewek cerdas adalah prestasi terhebat. Pasangan yang cerdas plus terkenal karena kecerdasannya (bukan karena cantiknya), akan menjadikan seorang cowok merasa lebih bangga setidaknya karena dua alasan. Pertama, si cowok merasa dirinya merupakan cowok unggul sebab cewek cerdas tidak mungkin memilih cowok yang tidak unggul. Kedua, memiliki pasangan cewek cerdas menunjukkan bahwa dirinya lebih cerdas lagi (arogansi cowok yang selalu merasa lebih baik ketimbang cewek).
Prestasi yang bagus meningkatkan harga diri seorang cowok. Namun sebaliknya, prestasi yang kurang bagus juga akan menurunkan harga diri cowok. Kaum cowok paling gampang tersinggung jika diminta membicarakan kegagalannya. Apalagi jika dibandingkan dengan orang lain yang lebih berhasil dari mereka, sangat boleh jadi hati mereka bakal meradang. Mereka marah bukan karena iri kepada orang lain yang lebih berhasil, tapi karena hal tersebut melukai harga diri mereka.
Jangan heran jika kaum cowok kurang berhasil dalam tugas bisa membuat mereka uring-uringan dan stres berat. Boleh jadi mereka jauh lebih stres gagal dalam pekerjaan daripada gagal dalam hubungan cinta. Ekstremnya, gagal dalam berpacaran tak mengapa, tapi gagal dalam pekerjaan itu bencana.
Artikel ini merupakan salah satu bab dari buku “Beda cowok dan Cewek yang Wajib Kamu Tahu”, terbitan Penerbit Cakrawala, Yogyakarta (2008)
sumber : http://psikologi-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar